WNI di Pusaran Krisis Global: Antara Imbauan Diam dan Jejak Perlawanan Sejarah
NARATORIA.CO – Melihat maraknya demonstrasi di berbagai belahan dunia, pemerintah Indonesia melalui Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu), Arrmanatha Nasir, mengimbau seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri agar menghindari keterlibatan dalam urusan politik domestik negara tempat mereka tinggal. Ia menekankan, WNI yang sedang bekerja atau menempuh studi di luar negeri sebaiknya tetap fokus pada tujuan utama mereka dan menghindari segala bentuk kerusuhan sosial maupun konflik politik demi keselamatan pribadi.
Perhatian khusus tertuju pada situasi di Nepal, di mana gelombang demonstrasi yang dipelopori oleh generasi muda, terutama Gen Z, telah memicu kericuhan hebat. Seperti awan gelap sebelum badai, demonstrasi ini berubah menjadi ledakan kemarahan publik terhadap parlemen, ketimpangan ekonomi, dan pemblokiran media sosial yang dilakukan sejak Kamis, 4 September 2025. Meski larangan itu telah dicabut, api protes tak kunjung padam. Akhirnya, Perdana Menteri KP Sharma Oli mundur di bawah tekanan massa.
Kerusuhan tersebut menelan puluhan korban jiwa akibat bentrokan dengan aparat. Bahkan, sebanyak 74 WNI harus dievakuasi kembali ke Indonesia karena kondisi yang memburuk.
Gelombang Protes di Asia hingga Eropa
Aksi serupa meletus di Timor Leste. Ribuan siswa di Dili memblokade area parlemen sebagai bentuk protes terhadap pengadaan mobil dinas baru bagi anggota DPR di tengah krisis ekonomi yang melanda rakyat.
Di Filipina, ribuan warga menolak proyek pengendalian banjir senilai miliaran peso yang dituding sarat korupsi. Walau berlangsung relatif damai, pemerintah tetap menaikkan status siaga militer menjelang demonstrasi besar yang direncanakan di Rizal Park pada 21 September 2025.
Sementara itu, di Australia, ribuan orang di Melbourne, Sydney, Brisbane, Adelaide, dan Hobart turun ke jalan menuntut transparansi pemerintah dalam kasus korupsi, menolak kenaikan biaya hidup, mengecam rasisme, dan menunjukkan solidaritas terhadap Palestina. Demonstrasi yang berlangsung sejak awal September ini dibubarkan paksa oleh aparat dengan semprotan merica.
Titik-titik protes juga mencuat di Eropa dan Timur Tengah. Di Prancis, Perdana Menteri Francois Bayrou mengundurkan diri setelah digempur aksi massa. Di Turki, Presiden Recep Tayyip Erdogan menghadapi tekanan serupa dari rakyat. Di Thailand, Mahkamah Konstitusi memutuskan pemecatan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra setelah aksi besar-besaran melanda Bangkok.
Jejak Perjuangan WNI di Negeri Orang
Seruan pemerintah agar WNI bersikap pasif dan menjauhi politik lokal di negeri orang memunculkan perdebatan, terutama bila menengok sejarah. Sebab, generasi pendahulu Indonesia justru mengambil peran penting dalam gerakan perlawanan di kancah internasional.
Pada dekade 1930-an, Perhimpunan Indonesia (PI)—yang sebelumnya bernama Indische Vereeniging—menjadi kekuatan perlawanan terhadap fasisme Nazi di Belanda. Dalam situasi Eropa yang sedang dilanda Perang Dunia II, para pelajar Indonesia di sana tidak tinggal diam. Mereka menyebarkan koran bawah tanah, melindungi korban kekejaman Nazi, dan membangun solidaritas lintas ras serta gerakan antikolonial.
Beberapa tokoh seperti Parlindoengan Loebis, R.M. Sidartawan, dan Djajeng Pratomo bahkan gugur dalam tahanan kamp konsentrasi Nazi, seperti Dachau dan Amersfoort. Irawan Soejono tewas ditembak Gestapo pada 13 Januari 1945 saat membawa mesin stensil untuk mencetak buletin perlawanan. Namanya diabadikan dalam buku Henk van Bevrijding: Verzetheld van Indonesische Afkomst – Irawan Soejono 1920–1945 karya Lodewijk Kallenberg (2016).
Para aktivis PI sadar bahwa perjuangan melawan kolonialisme tidak bisa dilepaskan dari perlawanan terhadap fasisme global. Solidaritas lintas negara menjadi senjata untuk memperkuat perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Indonesia dan Kongres Anti-Imperialisme
Jejak keterlibatan internasional Indonesia tak berhenti di Belanda. Pada 10 Februari 1927, delegasi dari PI dan Sarekat Rakyat/PKI turut hadir dalam Kongres Liga Anti-Imperialisme dan Penindasan Nasional di Brussel, Belgia. Kongres ini diikuti oleh 157 perwakilan dari 37 negara yang menentang penjajahan.
Delegasi PI terdiri dari Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ahmad Soebardjo, Gatot Taroenamihardja, dan Abdul Manaf. Sarekat Rakyat/PKI mengutus Semaoen. Dalam forum itu, mereka mengusung resolusi menuntut penghapusan hukuman mati dan pemberian amnesti bagi tahanan politik Indonesia.
Mohammad Hatta bahkan duduk sebagai anggota presidium kongres—sebuah pengakuan atas kepemimpinan pergerakan kemerdekaan Indonesia di tingkat global. Buku Herald of a Failed Revolt: Mohammad Hatta in Brussels, 1927 (Cambridge University Press, 2025) mencatat bahwa peran Hatta di kongres tersebut memperluas jaringan politik internasional dan memperkuat legitimasi perjuangan Indonesia.
Diam Bukan Selalu Emas
Seruan pemerintah untuk tidak ikut campur urusan politik negara lain menimbulkan pertanyaan: apakah diam memang pilihan terbaik?
Direktur X-Institute, Prayogi R. Saputra, mengkritik wacana ini. Menurutnya, diam sering kali dipaksakan kepada mereka yang paling terdampak. “Banyak warga yang ingin bicara, tapi takut dicap pembuat gaduh. Maka mereka belajar untuk sabar, bukan karena tabah, tapi karena lelah tak pernah didengar,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari Radius.
Dalam perspektif teori “False Consciousness” dari Karl Marx dan Friedrich Engels, masyarakat kerap dipaksa untuk menerima ketidakadilan sebagai norma, bahkan menganggapnya sebagai kebajikan. Kesadaran palsu ini menjebak masyarakat dalam kepasrahan yang sistemik.
Menakar Peran WNI di Dunia yang Bergolak
Jika dibandingkan, sikap pemerintah kini sangat kontras dengan semangat para pendahulu bangsa. Dulu, tokoh-tokoh nasional seperti Mohammad Hatta, Sjahrir, Soebardjo, dan Ki Hadjar Dewantara justru menyuarakan perlawanan terhadap fasisme dan kolonialisme di luar negeri.
Kini, di tengah gelombang aksi di Nepal, Timor Leste, Filipina, Australia, Prancis, dan negara lainnya, muncul pertanyaan: di manakah posisi WNI dalam peta dunia yang tengah bergolak?
Kapolri Listyo Sigit Prabowo sendiri pernah menyatakan bahwa “situasi global saat ini sedang tidak baik-baik saja.”
Maka pertanyaan besar pun muncul:
Apakah warga negara Indonesia hanya akan menjadi penonton di tengah panggung sejarah dunia? Atau masihkah kita mewarisi keberanian untuk bersuara dan berpihak pada keadilan?
Jika kamu menginginkan versi yang lebih pendek atau ringkas (misalnya untuk media sosial, presentasi, atau siaran pers), saya bisa bantu menyusunnya juga.