Pemuda Pelosok Samarinda: Generasi Emas atau Generasi yang Dipaksa Cemas?
Pemuda di daerah pelosok Samarinda, khususnya Kecamatan Sungai Kunjang, semakin lantang mempertanyakan masa depan mereka di tengah ketimpangan akses pendidikan dan kebijakan pemerintah yang justru semakin menjauhkan mereka dari hak dasar: pendidikan yang terjangkau dan berkualitas.
Diskusi yang digelar oleh Himpunan Pelajar Mahasiswa Sungai Kunjang (HIPMASKU) mengungkap berbagai fakta pahit yang tak bisa lagi disembunyikan. Biaya pendidikan terus naik, akses beasiswa semakin dipersempit, fasilitas sekolah di daerah tertinggal minim perhatian, sementara pemerintah terus berkoar soal generasi emas 2045.
Mereka bicara tentang SDM unggul, tapi kami di pelosok justru merasakan SDM yang semakin dimiskinkan. Kami tidak butuh retorika, kami butuh kebijakan yang berpihak! Kalau begini terus, 2045 bukan generasi emas, tapi generasi yang dipaksa cemas!
Janji Manis Pemerintah vs Fakta Pahit di Pelosok
Arianto menegaskan bahwa pendidikan seharusnya menjadi hak seluruh rakyat tanpa terkecuali. Namun realitasnya? Sekolah-sekolah di daerah Sungai Kunjang masih kekurangan tenaga pengajar, fasilitas jauh dari standar, dan akses internet yang bahkan untuk sekadar mengakses materi belajar saja sulit.
Menurut data dari Dinas Pendidikan Kalimantan Timur, sekitar 30% sekolah di Samarinda bagian pinggiran masih kekurangan laboratorium, perpustakaan, dan akses internet. Alih-alih memberikan solusi, pemerintah justru sibuk dengan proyek-proyek prestisius yang tak berdampak langsung pada pemerataan pendidikan.
Kami di pelosok ini seperti anak tiri negara. Pemerintah hanya peduli pada sekolah-sekolah di kota besar. Kami ini harus menunggu berapa dekade lagi untuk bisa menikmati pendidikan yang layak?
Biaya Kuliah Meroket, Akses Pendidikan Diperketat!
Makin ironis, ketika janji pendidikan murah dan berkualitas justru semakin menjauh dari kenyataan. Biaya kuliah di berbagai perguruan tinggi naik setiap tahun, tetapi di sisi lain, akses beasiswa justru semakin dipersempit.
Menurut laporan Kementerian Keuangan, anggaran KIP Kuliah mengalami pemotongan dari Rp 12,9 triliun menjadi Rp 11,3 triliun pada tahun 2024, mengakibatkan ribuan mahasiswa dari keluarga tidak mampu kehilangan kesempatan untuk kuliah.
Kami dipaksa percaya bahwa pendidikan adalah hak semua orang, tapi kenyataannya, kuliah itu cuma untuk mereka yang punya uang! Pemerintah memotong beasiswa, tapi tidak pernah memotong gaji pejabatnya!
Tak hanya itu, kebijakan afirmasi dalam rekrutmen CPNS dan PPPK yang lebih mengutamakan lulusan dari universitas tertentu memperlihatkan ketimpangan yang nyata. Lulusan perguruan tinggi daerah masih dipandang sebelah mata dibandingkan lulusan dari kampus-kampus besar di pusat kota.
Kami belajar dengan fasilitas seadanya, berjuang untuk bisa kuliah, tapi pada akhirnya kesempatan kerja juga diatur untuk mereka yang berkuliah di universitas yang sudah punya nama. Apakah ini yang disebut keadilan pendidikan.
Pendidikan: Hak atau Barang Dagangan?
Selain ketimpangan fasilitas dan kebijakan diskriminatif, pemuda Sungai Kunjang juga menyoroti mahalnya biaya pendidikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), biaya pendidikan tinggi di Indonesia meningkat hingga 10% setiap tahunnya.
Akibatnya, banyak mahasiswa dari daerah terpaksa berhenti kuliah atau harus bekerja ekstra keras hanya untuk bertahan hidup. Jika begini terus, pendidikan bukan lagi hak, tetapi barang dagangan yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang mampu.
Jangan bicara soal SDM unggul kalau anak-anak muda harus memilih antara tetap kuliah atau membantu orang tua cari makan. Jangan bicara soal generasi emas kalau kami justru terus dicekik dengan biaya pendidikan yang makin mahal!”
Pemuda Sungai Kunjang Menuntut!
Sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan ini, pemuda Sungai Kunjang menyatakan beberapa tuntutan keras kepada pemerintah:
Pemerataan akses pendidikan – Pastikan sekolah-sekolah di daerah pinggiran mendapatkan fasilitas yang setara dengan sekolah di perkotaan.
Peningkatan akses perguruan tinggi – Hentikan pemotongan anggaran KIP Kuliah dan perbanyak beasiswa bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu.
Penghapusan kebijakan diskriminatif dalam rekrutmen CPNS dan PPPK – Semua lulusan perguruan tinggi, tanpa terkecuali, harus mendapat kesempatan yang sama dalam dunia kerja.
Reformasi kebijakan pendidikan – Pemerintah harus menjadikan pendidikan sebagai hak, bukan bisnis yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Jangan paksa kami menjadi generasi yang kehilangan harapan. Jika pemerintah masih menutup mata, maka bukan tidak mungkin akan lahir gerakan yang lebih besar untuk menuntut hak kami!”
Jika situasi ini terus dibiarkan, generasi emas yang dijanjikan 2045 hanya akan menjadi utopia yang dikhususkan bagi mereka yang mampu membayar. Sementara, pemuda di pelosok hanya akan menjadi generasi yang terus dicekam ketidakpastian.
Penulis: Ketua Umum HIPMASKU, Arianto.